IHWALNYA adalah The Interview. Film besutan Seth Rogen dan Evan Goldberg ini berkisah perihal upaya pembunuhan terhadap pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un. Bukan film yang mengasah pening. The Interview, berdurasi kurang lebih 112 menit, cuma komedi. Dibintangi sendiri oleh Rogen dan James Franco, aktor muda yang bermain apik dalam film Milk dan Spring Breakers, tapi dunia lebih mengenalnya sebagai Harry Osbourne dalam trilogi Spiderman.
Meski barangkali tak "seserius" Wag the Dog (1997, Dustin Hoffmann dan Robert Redford) atau Charlie Wilson's War (2007, Tom Hanks, Julia Roberts, Philip Seymour Hoffman), The Interview mencoba untuk tidak terkesan garing. Franco memerankan seorang jurnalis bernama Dave Skylark. Ia dan Aaron Rapoport (diperankan Rogen), seorang produser, mendapatkan "proyek besar" dan berpeluang memberi mereka penghargaan tertinggi di bidang jurnalistik. Betapa tidak, kedunya memperoleh kesempatan langka: mewawancarai Kim Jong Un secara ekslusif. Betapa tak hebat! Sebab jangankan wawancara. Selama ini, pers barat, bahkan tidak mendapatkan celah untuk masuk ke negeri yang super tertutup itu. Satu-satunya "orang barat" yang bisa melenggang masuk dengan bebas ke sana adalah Dennis Rodman, mantan center Chicago Bulls.
Konflik muncul setelah CIA, yang mengetahui rencana wawancara ini, secara khusus memanggil Skylark dan Rapoport dan menugaskan mereka untuk membunuh Kim Jong Un. Komedi bergerak dari sini. Skylark dan Rapoport terbang ke Pyongyang dengan membawa kegugupan berlebih. Mereka harus terlibat dalam konspirasi pembunuhan yang tak main-main. Padahal mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan. Aku bahkan tak sampai hati untuk menendang kucing, kata Skylark.
Tema dan alur yang sesungguhnya sangat menarik. Namun pemerintah Korea Utara memiliki pandangan berbeda dan menanggapinya dengan keras. Kim Jong Un, sebagaimana pemimpin- pemimpin Korea Utara lain, adalah figur yang dikultuskan. Figur yang tak boleh diganggu, tidak boleh diusik. Kim Jong Un, sang pimpinan tertinggi, adalah Yang Dimuliakan. Dan tatkala Amerika, 'Barat', musuh yang sangat dibenci, mencoba-coba mengganggu dan mengusik, dengan cara memparodikannya pula, maka terang ini merupakan tindak penghinaan luar biasa.
Pemerintah Korea Utara secara resmi melayangkan protes kepada Pemerintah Amerika Serikat. Mendesak agar film produksi Sony Picture tersebut tidak ditayangkan dalam bentuk apapun. Tidak di bioskop, tidak dalam bentuk rekaman cakram padat dan video, bahkan cuplikan- cuplikan di laman-laman internet, tak terkecuali youtube.
Amerika menolak desakan ini dan hubungan kedua negara makin memanas. Laman resmi milik Sony diretas. Sejumlah file hilang. Termasuk file yang berkaitan dengan The Interview. Beruntung Sony sempat membuat backup. Amerika meradang karena Korea Utara menampik bertanggungjawab. Mereka menyebut tidak tahu-menahu perihal peretasan itu. Namun juru bicara pemerintah mengatakan, hal ini mungkin saja dilakukan oleh orang-orang di luar pemerintahan, yakni para pengikuti Kim Jong Un yang setia.
Entah bermaksud melampiaskan kedongkolan atau bagaimana, aksi retas-meretas ini berlanjut. Amerika Serikat membalas. Selama kurang lebih sembilan jam, jaringan internet di Kota Pyongyang dan kota-kota besar lain di Korea Utara (tidak seluruh kawasan di Korea Utara terkoneksi internet), padam total. Dan sebagaimana Korea Utara, Pemerintah Amerika Serikat menolak bertanggungjawab, dan berdalih, hal ini dilakukan oleh para hacker.
Terlepas dari "kediktatoran" Kim Jong Un dan "kekolotan" Korea Utara akibat "pengasingan diri" dari pergaulan internasional, apa yang mereka tunjukkan ini adalah penegasan betapa harga diri itu berharga sangat mahal.
Di Korea Utara, pada tiap-tiap warga, semenjak mereka lahir, telah ditanamkan betapa negeri ini, betapa Sang Pemimpin, adalah keniscayaan-keniscayaan yang tak dapat didebat. Cinta pada negeri dan Sang Pemimpin, mesti lebih besar dibanding cinta pada diri sendiri. Juni 2010 di Afrika Selatan, usai bertanding dan kalah 1-2 dari Brasil, kiper Korea Utara, Ri Myong-guk, mengemukakan kalimat yang secara sahih menggambarkan rasa cinta itu: "Saat menjaga gawang rasanya seperti menjaga gerbang tanah airku."
Indonesia telah menjalankan demokrasi meski bentuknya masih lonjong. Dari segala sisi, negeri kita jelas lebih baik dari Korea Utara yang pada dasarnya bukan lagi sebuah bangsa, melainkan umat yang direkatkan oleh Marxisme-Leninisme yang sudah bertransformasi jadi doktrin: Sang Pemimpin. Dulu Kim Jong Il, kini Kim Jong Un. Di sepenjuru Korea Utara, terdapat lebih dari 30 ribu monumen yang memampangkan kebesaran Sang Pemimpin. Keluarga Kim turun- temurun. Kita tak ingin menjadi seperti mereka. Tapi sikap Korea Utara perihal harga diri, barangkali boleh dijadikan contoh. Dijadikan rujukan, bahkan pelajaran. Sebab apalah jadinya negeri ini, jika sebagian rakyatnya, dari detik ke detik sepanjang 24 jam, tak pernah lelah melakukan penghujatan terhadap pemimpinnya sendiri.
0 komentar :
Posting Komentar
Silakan Isi Komentar Anda...